English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

this widget by www.AllBlogTools.com

A Fabulous Concert Called “TEMBANG PUITIK”

Thursday, May 13, 2010 § 2

Saya tidak begitu mengerti tentang musik, saya nggak bisa main alat instrumen satu pun, kecuali recorder yang masih tersendat-sendat, bahkan saya nggak bisa baca not balok. Tapi saya tau apa itu sastra, interpretasi kata nan indah yang tergabung dalam balutan metafora imajiner. Tapi apa jadinya jika dua elemen itu digabung?
 


TEMBANG PUITIK, seperti namanya, tembang yang berarti musik, dan puitik yang berarti kesastraan. Harmoni gabungan nada indah dan lirik yang menyayat hati dapat saya lihat disini, sebuah konser musik yang setahu saya pertama kali diadakan di Surabaya, jauh dari hiruk pikuk pensi SMA yang sarat akan hura-hura, disini kita malah akan duduk manis dan dicekoki puisi tentang kehidupan, cinta, dari awal sampai akhir. Konser yang dipromotori Amadeus Performing Arts dan Brilliante Enterprise ini mempersembahkan Ananda Sukarlan, pianis Indonesia yang menetap di Spanyol yang sudah mendapat lirikan dimata dunia [If you want the world to know who you are, you should travelling around it]. Konser Musik Sastra ini memang bukan pertama kalinya di Indonesia, tapi TEMBANG PUITIK dapat menjadi tonggak baru dalam seluruh resital yang pernah diadakan di Indonesia, Ananda Sukarlan langsung berperan sebagai "composer-in-residence" di konser tersebut, komposer yang langsung andil dalam memberikan latar belakang karyanya dan diskusi pada pemain, dan pada akhirnya akan tercipta interpretasi harmoni dari komponis dan interpretator.

 
Ananda Sukarlan (Andy) [lahir di Jakarta 10 Juni 1968] adalah seorang berkebangsaan Indonesia yang menetap di Spanyol, mendapat lirikan di mata Internasional juga mendapat julukan "A Brilliant Young Indonesian Pianist". Andy juga berperan dalam pengajaran musik bagi anak-anak cacat di Spanyol, baik bermain piano dengan 2 jari, bahkan dengan satu tangan. Selain itu Andy juga pernah diundang Ratu Sofia dari Spanyol untuk konser dalam acara Queen Sofia Prize di Madrid pada Oktober 2000. Di tahun yang sama pria yang juga mendedikasikan karyanya agar bisa diakses oleh segala usia, baik anak-anak inipun pernah menggelar konser resital piano di Istana Merdeka pada Agustus saat KH. Abdurrahman Wahid masih menjabat sebagai presiden R.I. Andy ternyata juga seorang blogger, alhamdulillah dia diberi jalan oleh Allah untuk membuka account di blogspot yang diberkati ini. Blognya bisa diliat di andystarblogger.blogspot.com

Acara ini dihelat di auditorium Cak Durasim tanggal 2 Mei kemarin, pesan tiket via sms ke mbak Mariska Setiawan paginya. Di tiket tertera mulai pada pukul 17.00, dan saya datang as usual 30 minutes earlier like businnessman from the western country, berasaskan professional, pukul 16.30. Celakanya, 17.00 sudah tertunjuk jarum erat di jam tangan saya, dan tidak ada panitia yang mengonfirmasi pada penonton yang saat itu masih sedikit jumlahnya. Sampai akhirnya 5 menit kemudian, ada konfirmasi, bahwa acara DITUNDA, dengan alasan "PEMAIN MASIH BELUM ADA DITEMPAT, TERKENDALA MACET DI JALAN". Apa-apaan ini pikirku, yang konser siapa kok malah belum dateng. Tapi karena saya baik hati, saya maafkan. Sungguh murah hati saya ini ternyata. Setelah beberapa saat adu tegang dengan rasa yang pengen keluar dari auditorium untuk menghirup asap rokok, akhirnya konser ini dimulai 30 menit dari yang seharusnya. 


 
bronze view

Sebelum kisah itu terjadi, mari kita tengok 1 jam sebelumnya ketika saya baru saja menginjakkan kaki di ticket box. Untunglah nama saya tercantum sebagai pembooking dadakan. Sungguh girang saya pada saat itu. Akhirnya saya bisa lihat TEMBANG PUITIK, konser yang bertajuk campuran antara seni, sastra, kebudayaan Indonesia, tarian, dan tentu saja musik. Invitation mengharapkan semua penonton menggunakan baju batik, dan saya menggunakannya, walaupun dengan celana jeans dan sepatu sandal, dan tentu saja rambut asal2an ala mahasiswa ITS. Tapi ada yang cukup mengherankan, percaya atau tidak, 80% penonton yang hadir berasal dari etnis tionghoa, entah mereka suka konser sastra classic ginian, atau cuma sekedar lihat anaknya resital. Saya tidak tahu. Wajah imut asli Indonesia [walaupun hybrid Borneo] seperti saya ini agak jarang tampak disana.
 

ticket box
 

Saya beli Bronze IDR 50 ribu, padahal di invitation ada kategori sama, Bronze, IDR 35 ribu, tapi ada keterangan student. Pikirku ini student harus dari Surabaya Music Center yang jadi sponsor, nggak ada embel-embel institusi atau lembaga pengajaran lain soalnya, lagian saya nggak bawa KTM, ya saya tetap bersikukuh beli bronze 50ribu. Toh juga di invitation Bronze 50, ada embel-embel balkon, di 35, ga ada. Tapi ternyata semua sama, baik itu 35 dan 50, cuma beda harga. apa daya, ada oleh-olehnya juga buku sekilas resensi tentang TEMBANG PUITIK. Padahal gadisku juga beli bronze, 35 tanpa menunjukkan kartu pelajar. Bisa dibilang 15 itu amal, anggap saja kemurahan hati saya. 

buku resensi
 

Kembali ke 1 jam setelahnya, saya duduk di agak belakang sendiri, dengan maksud mencari orang yang depan saya agak pendek biar saya keliatan performancenya. Bronze ga masalah, toh juga nanti ada gadisku yang ikutan nonton, barangkali kita bertemu, duduk bersebelahan, mendengarkan dentingan nada piano yang dia faham, dan dayunya sastra yang saya kuasai. Konser dimulai, lampu dimatikan, dan gadisku tak kunjung datang, dibuka oleh MC [ini uayu, serius mirip sama alexandra gottardo]. Peraturan selama konser dibacakan, dan mbak alexandra melarang untuk mengambil gambar selama acara berlangsung, dia berkilah semua dokumentasi sudah disiapkan oleh panitia. Karena saya cuma bawa pocket kamera saat itu, jadi bisa saya maafkan. Sesi ini dibuka oleh resital piano anak-anak dari salah satu lembaga pengajaran musik di Surabaya, cukup bagus sebagai preambule, walaupun gadisku tak kunjung datang.

mbak alexandra
 
Selang waktu 30 menit, piano piano dan piano, tanpa vokal, dan saya yang nggak bisa baca partitur ini cuma bisa diam, mau meresapi ya nggak bisa, memaknaipun saya nggak tau, bisanya cuma mendengarkan. Akhirnya ada sosok yang sepertinya saya kenal, siluet khas darinya, gadisku datang. Dan dia tidak melihatku, menggelikan, padahal dia duduk di samping belakangku. Sebelahku yang kuharapkan diisi dia, malah diisi lelaki endut, jauh dari ekspektasiku akan badannya yang seksi. Sepanjang konser kami memang nggak duduk bersebelahan, tapi tak apalah, masih ada lain waktu. Detailnya kalian nggak usah tau, rahasia kami berdua.

Satu jam berlalu, dan tiba saatnya break. 10 menit. Nggak pakai mikir panjang, saya keluar menikmati udara kebebasan, mengambil rokok, dan menyalakannya. Merokok bersebelahan sama tante-tante tionghoa parlente, untung saya nggak dibooking. haha. Setelah itu masuklah sesi 2, sesi favorit saya. Tadi cuma piano, sekarang sudah ditambahi sama puisi-puisi, akhirnya its time for sastra! Dari beberapa prosa yang dibawakan, saya menaruh perhatian pada puisi modern Indonesia yang pesona pantunnya tampak pada irama dan persamaan bunyi. Larik sampiran yang pada sajak-sajak lama mendedahkan suasana alam, diganti dengan kalimat-kalimat penyair modern yang lebih berusaha mencurahkan suasana hati atau hal-hal kejiwaaan. Sajak Untuk Bungbung ciptaan Goenawan Mohamad [sang kreator TEMPO yang juga wartawan], yang dibawakan oleh Yosafat Rannu Leppong, berikut liriknya :

Tiap tengah malam bulan mendarat 
pada atap yang mimpi  
Tentang seorang pilot, tanpa pesawat  
diatas sawah dan pagi hari 
Cemas itu, nak, memang telah jadi umum
dan akan sampai pula kemari
Nah rapikan rambutmu sebelum kucium 
dengan tangkai daun yang lama mati  

dan alhamdulillah sekali, ada salah satu puisi menyentuh dari sastrawan Djoko Damono yang diciptakan di tahun 1989, dikutip dari kumpulan Sajak Bulan Juni, yaitu Dalam Doaku yang juga dinyanyikan disana, seperti berikut :  

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara 
Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana 
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu 
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

Aku mencintaimu. 
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu
  
Saya anggap itu puisi itu encore dari TEMBANG PUITIK, so romantic… Selebihnya cuma karya biasa. Akhirnya penampilan terakhir tiba, Ananda Sukarlan pun naik ke panggung. Sedikit pidato penyambutan darinya, ini langsung saya skip, dan dia main beberapa karyanya, Rapsodia Nusantara no.3 [seinget saya], yang mengandung lagu daerah [saya juga lupa judulnya, haha maaf] dimainkan dengan sangat baik, remix dari lagu daerah yang monoton dia rubah dengan sempurna ke irama yang lebih tidak membosankan. Andy juga menghimbau bagi para pianis yang hadir di acara itu untuk menggunakan wrist [pergelangan tangan] saat bermain piano. Selain itu dia juga bercerita tentang pengalamannya di Spanyol yang mengajari anak-anak cacat untuk bermain piano dengan satu tangan [ini juga dia tampilkan]. Beberapa lagu yang dia mainkan dari album Rapsodia Nusantaranya cukup membuat penonton terkesima, dan akhirnya masuk ke segmen terakhir yaitu lagunya yang berjudul Choral Fantasy, dimainkan oleh Andy sebagai pianist, Evelyn Merellita sebagai soprano, dan Rubin Lukito sebagai conductornya Petra Choir. Acara diakhiri dengan ritual resital biasanya, penyerahan buket bunga oleh panitia ke pihak pihak yang bersangkutan, selain bunga gitu ga ada ya, pikirku, coba kalo piano/organ/harpa/recorder kesukaan saya. haha..



Walaupun masih banyak miss penyelarasan nada antara puisi dengan piano, tapi tak apalah. Setidaknya ini cukup menghibur, toh juga bukan pekerjaan mudah mengubah puisi jadi lagu, seperti yang dilakukan jagoan kita Ananda Sukarlan. Ah, akhirnya, bagi orang-orang mungkin acara ini sudah berakhir, tapi untuk saya belum. Masih ingat gadisku yang tadi, ya, saya mengantarkannya pulang dulu. Rasa-rasa dag-dig-dug gara-gara dia nggak pake helm melebihi ketegangan ketika saya mendengarkan Sajak Untuk Bungbungnya Goenawan.

Perjalanan pulang yang cukup romantis, tidak usah saya ceritakan sama kalian, yang penting dia selamat sampai rumah, dan saya pulang dengan perasaan senang, walaupun ada rasa penyesalan kenapa tadi konser nggak duduk sebelahan sama dia. haha. *menambah kadar romantisme menurut saya.

What's this?

You are currently reading A Fabulous Concert Called “TEMBANG PUITIK” at addoppelganger 1.8.

meta

§ 2 Response to “A Fabulous Concert Called “TEMBANG PUITIK””

§ Leave a Reply

be the first among your friend !