Jika negara asing punya sesuatu yang dibanggakan dari dunia perfilman baik itu dalam kategori action, drama, maupun horror; dedikasi para artis didalamnya konsisten memainkan peran dengan sangat baik sesuai genre yang diusung sang sutradara. Lain hal di Indonesia, arti genre bukanlah seperti itu, action bukanlah tembak-tembakan, drama bukan lagi percintaan, horror bukan lagi hantu seram, semuanya bersatu menjadi genre tabu yang kembali muncul ke permukaan setelah redup di akhir 70-an, yaitu "P.O.R.N.O.G.R.A.F.I".
Beberapa tahun lalu ketika saya masih kecil, timbul sebuah idealis untuk menjadi seorang jagoan bak power rangers maupun jiraiya, konsisten pada jalannya menjadi jagoan dengan menggunakan MEGAZORD akhirnya walupun terlihat membosankan, tapi asik, memerangi yang bathil, dan membunuh monster-mosnter yang terbukti bersalah; tapi permasalahannya sekarang, hampir semua orang di dunia perfilman adalah orang-orang yang tidak mempunyai idealisme seperti ini, ketika dulu di awal karir mereka menyembah pada genre yang diusungnya, sekarang mereka bersujud pada angka rating pemirsa.
Sekali lagi angka telah mempermainkan semuanya, dampak dari sebuah angka cenderung cukup besar, dari personal [terkikisnya pola pikir sutradara dari ide orisinalitas yang dibuatnya, meninggalkan penggemar setianya demi meraup pangsa pasar yang lebih banyak meskipun berpengaruh pada kualitas karya yang dia dihasilkan] sampai non-personal [penonton yang dibodohi mentah mentah oleh kualitas film yang menjijikkan].
Jika KBBI menyebutkan bahwa sutradara adalah "orang yg memberi pengarahan dan bertanggung jawab atas masalah artistik dan teknis dl pementasan drama, pembuatan film", maka saya berpendapat bahwa sutradara adalah "orang yang bertanggung jawab atas terjadinya langkah awal pengrusakan moral bangsa secara visual". Jika KBBI menyebutkan bahwa artis adalah "ahli seni; seniman, seniwati (spt penyanyi, pemain film, pelukis, pemain drama)", maka arti kata artis dalam kamus besar saya adalah "anjing sutradara yang bersedia melakukan apa saja demi uang dan popularitas tanpa memperhatikan jenis peran yang dilakoninya".
Mari kita tilik nama salah seorang sutradara, Hilman Hariwijaya namanya, pemuda yang ikut tergeser dalam pola pikir "dunia perfilman yang bersujud pada pasar". Di generasi yang lalu, Herman adalah otak dibalik serial Lupus, sinetron yang kita elu-elukan itu. Tapi coba lihat dia sekarang, Lupus yang identik dengan humor malah berbalik menjadi Cinta Fitri, sebuah maestro karya gagal yang diterima khayalak Indonesia yang tak berotak. Yup, Hilman adalah otak kotor dibalik skenario penjilat Cinta Fitri mulai dari season 1 sampai sekarang [entah sekarang sudah sampai berapa]. Padahal saya yakin di lubuk hatinya yang terdalam, jiwa Lupusnya masih ada dan ingin keluar, tapi tak bisa, pasar tak mengijinkan hal ini, jika perut sudah berbicara, otakpun sudah tidak bisa berpikir sebagaimana mestinya.
Itu adalah sepenggal kisah dari Hilman, sebenarnya masih banyak Hilman Hilman yang lain, yang masih hidup dan bernafas, dikala siang mereka bekerja keras mencuci otak para pemirsa dan berusaha memanipulasi angka, malamnya mereka bersujud pada Tuhan atas anugerah uang yang diterima berkat hasil kerja kerasnya, padahal Tuhan tau, keringatnya itu penuh dosa, menyebabkan generasi muda berubah sifat dari hari-ke-hari, yang dikemudian hari dirinya akan tersadar, bahwa anak anaknya ikut menjadi peran di sinetron yang dia buat di dunia nyata, tapi dia tau itu tidak akan bisa dirubah, Lupus yang jenaka tidak bisa menonjolkan ratingnya lagi, dikalahkan oleh fitri yang tertindas dan misca yang tertawa lepas.
Semua sinetron di Indonesia bahkan bisa dirangkai dalam satu rumus:
(JAGOAN DITINDAS + PENJAHAT TERSENYUM PUAS + BUMBU PERCINTAAN KELAS BAWAH) x TIAP HARI = RATING PEMIRSA
Khusus di Indonesia, KHUSUS, peran protagonis identik dengan kemiskinan, ditindas, tubuh kurus paras cantik, selalu ingin menolong tapi nggak bisa, dan semua tindakannya selalu salah. Seakan-akan para sutradara ingin menunjukkan bahwa "hidup jadi orang baik itu susah, mending jadi penjahat sekalian.", dan bimsalabim, lihat saja Indonesia, gara-gara sering lihat anjing [artis] di TV, pola pikir mereka juga sama seperti anjing, *anjing beneran.
Untuk bisa menjadi artis pun mudah, kalo dulu kita harus terseok-seok dari bawah, mulai start dari peran pembantu, atau sekedar cameo, sekarang pelacur pun bisa jadi artis, atau artis kebanyakan adalah pelacur. Parahnya lagi, kalo politikus berasal dari background anjing [artis], bisa bisa kita akan dicekoki pidato guk-guk, dan dipimpin oleh para penjilat [karena anjing lidahnya selalu menjulur keluar]. Uang yang ditawarkan untuk menjadi anjing juga nggak sedikit, bahkan 5 bulan kejar tayang aja udah bisa beli alphard, rumah mewah, jalan keluar negeri, bahkan nyewa bodyguard. Tapi setahu saya, dunia keanjingan tidak lagi menjanjikan, jika ada salah seorang anjing yang sedang naik daun dan berparas lebih amoi daripada anjing sebelumnya, sudah pasti akan didepak, itu rumus, itu paten, itu kenyataan.
Belum lagi maraknya program reality show yang makin menjamur, sekali lagi, itu SAMPAH. Melihatnya saja saya sudah muak, apalagi ditambah score-score orchestra kacangan, kadang-kadang ada yang dicomot dari scorenya film box office macam the dark knight atau saw. Tentu saja saya tau, saya seorang movie freak, dan music addict ! Sama halnya seperti acara gosip, sama sampahnya.
Gempuran film
horror yang nggak lagi menjual hantu, tapi jual susu juga makin marak saja
terjadi, nggak ada bedanya sama nonton bokep sekalian. Adegan syur yang sudah
tidak dianggap tabu menurut saya berasal dari pelopor ciuman Ada Apa Dengan
Cinta di tahun 2000, makin marak di Buruan Cium Gue, terus nyambung ke
film-film horror sekarang yang judulnya nggak jauh beda sama wisma-wisma di lokalisasi, berazaskan adegan ranjang sebagai bumbu
bumbu penyedap rasa untuk mengusir rasa bosan dari kelamnya hantu. Tentu saja yang nonton para lelaki
brengsek Indonesia, dicoba ke pacarnya, dan akhirnya si cewek juga seneng ikutan
liat film ginian, itung-itung belajar “gaya baru” katanya. Kalo saya sih
konsisten di jalur bokep buat liat gituan, nggak nanggung-nanggung, anjingnya
juga nggak separo jalang, tapi benar-benar bitch sekalian. Menurut saya, itu lebih baik daripada denger bunyi istighfar karena diinjak injak atau berdoa khusyuk disaat putus cinta, sudah masuk SARA.
Sekarang, televisi cuma bisa menghibur saya dari tayangan berita, sunday morning cartoon, dan wawancara intelek saja. Untung sujud syukur alhamdulillah, dunia jurnalistik belum terpengaruh stigma macam ini, karena jika bagian itu disentuh, pasti Indonesia akan semakin rusak. Semoga kedepannya para sutradara tau apa yang mereka lakukan, orang-orang seperti saya rindu RCTI, SCTV, TRANS, dan channel lainnya seperti dulu, ketika belum dipengaruhi pangsa pasar, yang berdiri gagah sesuai dengan tema yang dianut, seperti METRO TV yang berorientasi pada jurnalisme, TRANS TV yang mendedikasikan diri untuk action.
weits kang addo. artikelnya asyik euy. Ya kita emang sedang menunggu sutradara dengan otak berisi dan hati yang idealis. Orang-orang seperti Martin Scorsese atau Stanley Kubrick.
eh btw sekarang udah banyak juga kok sutradara amatir yang idealis. mereka bikin film low budget tapi peminatnya selangit. Film mereka selalu diburu. hanya sayang, formatnya 3GP...
sip sip. apalagi 3GP itu genre favortit saya loh!